Minggu, 26 Mei 2013

MAKALAH DASAR-DASAR PENGEMBANGAN KURIKULUM





MAKALAH KURIKULUM
KOMPONEN – KOMPONEN KURIKULUM
MATA KULIAH DASAR-DASAR PENGEMBANGAN KURIKULUM
DOSEN :
Dr. Agus Pahrudin,M,Pd
Dr. R. Masykur, M.Pd.



DISUSUN :
AHMAD SYUPRI
ROSID SIDIK






PROGRAM STUDI SUPERVISI PENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH PASCA SARJANA
IAIN RADEN INTAN LAMPUNG
2013




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Perkembangan pendidikan akan seiring sejalan dengan dinamika masyarakatnya, karena ciri masyarakat selalu berkembang. Terdapat kelompok masyarakat yang berkembang sangat cepat, tetapi ada pula yang lambat.Hal ini karena pengaruh dan perkembangan teknologi, komunikasi dan telekomunikasi.Dalam kondisi seperti ini perubahan-perubahan di masyarakat terjadi pada semua aspek kehidupan. Efek perubahan di masyarakat akan berimbas pada setiap individu warga masyarakat, pengetahuan, kecakapan, sikap, kebiasaan bahkan pola-pola kehidupan.
Inovasi Kurikulum adalah suatu pembaharuan atau gagasan yang diharapkan membawa dampak terhadap kurikulum itu sendiri.kurikulum hanyalah alat atau instrumen untuk mencapai tujuan pendidikan dan pembelajaran yang ditetapkan. Kurikulum bukan sebagai tujuan akhir.Seiring dengan perubahan masyarakat dan nilai-nilai budaya, serta perubahan kondisi dan perkembangan peserta didik, maka kurikulum juga mengalami perubahan. Perubahan tersebut adalah: Dari sisi bentuk dan organisasi inovasinya berupa perubahan dari kurikulum 1968 menjadi kurikulum 1975 dan dan kurikulum 1975 menjadi kurikulum 1975 yang disempurnakan dan dengan lahirnya Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang sistem pendidikan riasional maka terjadilah perubahan kurikulum pada tahun 1994,Kemudian berubah menjadi kurikulum KTSP, dan pada tahu 2013 ini perubahan pun dilakukan menjadi kurikulum 2013.
Kurikulum sebagai suatu rancangan dalam pendidikan memiliki posisi yang strategis, karena seluruh kegiatan pendidikan bermuara kepada kurikulum. Begitu pentingnya kurikulum sebagaimana sentral kegiatan pendidikan, maka didalam penyusunannya memerlukan landasan atau fondasi yang kuat, melalui pemikiran dan penelitian secara mendalam dan pada dasarnya kurikulum merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen.“setiap kurikulum biasanya terdiri dari tujuan, isi, strategi / pola belajar-mengajar, dan evaluasi.”[1]
Melihat bahwa sangat pentingnya komponen-komponen dalam kurikulum maka kami akan mencoba membahas tentang “komponen-komponen dalam kurikulum”
B.  Rumusan Masalah
Dari Latar Belakang  masalah tersebut di atas, maka dapat di rumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1.    Apa Tujuan Kurikulum ?
2.    Bagaimana Konten/Isi Kurikulum ?
3.    Bagaimana Organisasi kurikulum ?
4.    Bagaimana Evaluasi Kurikulum ?
C.  Tujuan Pembahasan
Adapun Tujuan Pembahasan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui Tujuan kurikulum
2. Untuk mengetahui  Konten/Isi kurikulum
3. Untuk mengetahui Organisasi Kurikulum
4. Untuk mengetahui Evaluasi Kurikulum



                                                                          BAB II
                PEMBAHASAN
A.      Tujuan Kurikulum
1.    Pengertian Tujuan Kurikulum
Tujuan kurikulum pada hakikatnya adalah tujuan dari setiap program pendidikan yang akan diberikan pada anak didik Dalam perspektif pendidikan nasional, tujuan pendidikan nasional dapat dilihat secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa :
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab".[2]

 Tujuan pendidikan antara lain:
1)   Tujuan Institusional (Kompetensi Lulusan)
Adalah tujuan yang yang harus dicapai oleh suatu lembaga pendidikan, contoh : SD, SMP, SMA
2)   Tujuan kurikuler (Standart Kompetensi)
Adalah tujuan bidang studi atau mata pelajaran sehingga mencapai hakikat keilmuan yang ada didalamnya.
3)   Tujuan instruksional (Kompetensi Dasar)
“Tujuan instruksional (Kompetensi Dasar) dirumuskan sebagai kemampuan-kemampuan yang diharapkan dimiliki anak didik setelah mereka menyelesaikan prosesbelajar mengajar”[3].
·      Tujuan instruksional Umum (Indikator Umum)
Kemampuan tersebut sifatnya lebih luas dan mendalam.
·      Tujuan instruksional khusus (Indikator khusus)
Kemampuan lebih terbatas dan harus dapat diukur pada saat berlangsunganya prose belajar mengajar.
Sistem adalah: “suatu keseluruhan terpadu yang terdiri dari berbagai elemen yang masing masing elemen terkait dengan elemen yang lain.”[4] Jika pemahaman sistem diatas dipergunakan melihat kurikulum itu ada sejumlah komponen yang terkait dan berhubungan satu sama lain untuk mencapai tujuan. Dengan demikian, dipandang sistem terhadapa kurikulum, artinya kurikulum itu dipandang memiliki sejumlah komponen-komponen yang saling berhubungan, sebagai kesatuan yang bulat untuk mencapai tujuan.
Definisi diatas memberikan gambaran bahwa pendekatan sistem dalam pengembangan kurikulum merupakan bentuk berputar dan dinamis dimana empat komponen dari suatu model saling berhubungan. Jadi dapat disimpulkan dilihat dari gambar diatas bahwa anatara satu komponen dengan komponen yang lain mempunyai hubungan erat dan tidak dapat dipisahahkan .
2      Kriteria Penetapan Tujuan Kurikulum
Dalam komponen kurikulum ada hal yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan, yaitu: “a). tujuan yang ingin dicapai, b).  materi yang perlu disiapkan untuk mencapai tujuan, c).  susunan materi/pengalaman belajar, d). Organisasi kurikulum  dan e). evaluasi apakah tujuan yang ditetapkan tercapai .”[5]. Komponen yang satu dengan yang lain saling berkaitan dan membentuk satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan




Bagan diatas menggambarkan bahwa system kurikulum terbentuk oleh komponen-komponen yang menyatu menjadi suatu kesatuan system yang menjadikan saling keterkaitan antara satu komponen dengan komponen lain dan tidak dapat dipisahkan, apabila salah satu komponen terganggu atau tidak berkaitan maka system kurikulum pun akan terganggu juga.
3.Taksonomi Tujuan Pendidikan
Menurut Bloom, dengan bukunya Taxonomy of Educational Objectives terbitan 1965, bentuk perilaku sebagai tujuan yang harus dirumuskan dapat digolongkan kedalam 3 domain, yaitu:
a.    Domain Kognitif
Kognitif adalah tujuan pendidikan yang berhubungan dengan kemampuan intelektual seperti mengingat dan memecahkan masalah.Domain kognitif terbagi menjadi 6 tingkatan yaitu; pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehension), penerapan (application), analisa, sintesis dan evaluasi.
b.    Domain Afektif
Afektif berkenaan dengan sikaf, nilai-nilai dan afresiasi.Domain ini memiliki tingkatan, yaitu; penerimaan, merespon, menghargai, mengorganisasi dan karakterisasi nilai.
c.     Domain Psikomotor.
Psikomotor adalah tujuan yang berhubungan dengan kemampuan keterampilan atau skill seseorang. Dan tingkatannya yaitu ; persepsi (perception), kesiapan, meniru(imitation), membiasakan (habitual), menyesuaikan (adaption) dan menciptakan (organization)”.[6]
B.  Konten/Isi Kurikulum
1. Konsepsi Konten
Konsep konten menurut Saylor dan Alexander (1966:160) adalah: Fakta, observasi, data, persepsi, klasifikasi, disain dan pemecahan masalah yang telah dihasilkan pengalaman dan hasil pikiran manusia yang tersusun dalam bentuk ide-ide, konsep, prinsip-prinsip, kesimpulan, perencanaan dan solusi.
 Sedangkan menurut Hymen (1973:4) konten merupakan: Ilmu pengetahuan (seperti fakta, keterangan, prinsip-prinsip, defenisi), keterampilan dan proses (seperti membaca, menulis, berhitung, menari, berpikir kritis, berkomunikasi lisan dan tulisan) dan nilai-nilai (seperti konsep tentang hal-hal baik, buruk, betul dan salah, indah dan jelek)
 Dari dua pengertian yang diajukan, dapat diterima bahwa secara umum konten kurikulum mencakup tiga komponen utama, yaitu pengetahuan, proses dan nilai-nilai. Namun ada juga ahli yang membedakan kedua konsep tersebut. John Dewey [7]misalnya, menilai perbedaan materi dengan ilmu pengetahuan sangat esensil. Bagi ahli yang membedakan mengartikan bahwa materi atau konten merupakan catatan-catatan tentang pengetahuan (seperti grafik, simbol, rekaman dll), sedangkan ilmu pengetahuan dipandang sebagai sesuatu hasil pemahaman dan pengertian tentang catatan-catatan tersebut sebagai akibat interaksinya dengan pengalaman individu
Sejalan dengan yang dikemukan, perancang kurikulum yang merancang materi kurikulum harus menetapkan berdasarkan pertimbangan makna materi tersebut bagi individu. Penetapan kurikulum tidak hanya dipilih sebagai materi saja, tetapi selalu dipilih sebagai ilmu pengetahuan (pengetahuan, keterampilan dan ilmu)
Isi program kurikulum adalah segala sesuatu yang diberikan kepada anak didik dalam kegiatan belajar mengajar dalam rangka mencapai tujuan.Isi kurikulum meliputi jenis-jenis bidang studi yang diajarkan dan isi program masing-masing bidang studi tersebut.Bidang-bidang studi tersebut disesuaikan dengan jenis, jenjang maupun jalur pendidikan yang ada.
Isi / materi kurikulum hakikatnya adalah semua kegiatan dan pengalaman yang dikembangkan dan disusun untuk mencapai tujuan pendidikan. Secara umum isi kurikulum itu dapat dikelompokan menjadi :
Ø  Logika, yaitu pengetahuan tentang benar salah berdasarkan prosedur keilmuan.
Ø  Etika, yaitu pengetahuan tentang baik buruk, nilai dan moral
Ø  Estetika, pengetahuan tentang indah-jelek, yang ada nilai seninya.
Materi kurikulum pada hakekatnya adalah isi kurikulum yang dikembangkan dan disusun dengan prinsip-prinsip sebagai berikut :
v  Materi kurikulum berupa bahan pelajaran terdiri dari bahan kajian atau topik-topik pelajaran yang dapat dikaji oleh siswa dalam proses pembelajaran
v  Mengacu pada pencapaian tujuan setiap satuan pelajaran
v  Diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
2.Kriteria Penetapan Konten Kurikulum
a. Signifikansi
Kriteria signifikansi dipakai untuk menetapkan bagian apa dari suatu bidang yang perlu dimasukkan atau ditekankan.
b. Kebutuhan sosial
Mempertibangkan kebutuhan sosial anak agar mereka memiliki kemampuan untuk melaksanankan fungsi-fungsi sosial dan meningkatkan nilai-nilai masyarakat. agar berfungsi sebagai orang dewasa kelak.
c. Kegunaan
Merupakan kriteria yang paling ilmiah jarena diperoleh dari hasil penelitian di lapangan. Pengetahuan, keterampilan dan sikap seperti apa yang diharapkan masyarakat dari lulusan. Tujuan pendidikan dan tujuan sekolah dapat pula ditetapkan dengan hasil temuan ini.
d. Minat
Merupakan salah satu usaha untuk membuat kurikulum relevan dengan peserta didik. Hal yang menjadi minat bagi pelajar perlu dijabarkan untuk menghindari penetapan konsep yang mungkin tidak sesuau dengan minat mereka seungguhnya
e. Perkembangan manusia
Ini didasarkan pada asumsi bhawa sekolah bukan saja merefleksikan masyarakat, tetappi juga sebagai alat untuk mencerdaskan dan mengembangkan manusia untuk perubahan sosial.
f. Struktur disiplin ilmu
Kriteria ini didasarkan anggapan bahwa setiap disiplin ilmu mempunyai struktur tersendiri karena itu materi kurikulum harus mencakup kajian yang menungkinkan anak memahami struktur bidang ilmu tertentu.[8]
Terdapat beberapa criteria dalam menyusun materi kurikulum.Hilda Taba (1962:267)[9] kriteria untuk memilih isi materi kurikulum yaitu :
·           Materi harus sahih dan signifikan, artinya menggambarkan pengetahuan mutakir.  
·           Relevan dengan kenyataan social dan kultur agar anak lebih memahaminya.
·            Materi harus seimbang antara keluasan dan kedalaman.
·           Materi harus mencakup berbagai ragam tujuan.
·           Sesuai dengan kemampuan dan pengalaman peserta didik.
·           Materi harus sesuai kebutuhan dan minat peserta didik”[10]
Pengembangan materi kurikulum harus berdasarkan prinsif-prinsif sebagai berikut:
*        Mengandung bahan kajian yang dapat dipelajari siswa dalam pembelajaran.
*        Berorientasi pada tujuan, sesuai dengan hirarki tujuan pendidikan.
Materi pembelajaran disusun secara logis dan sistematis, dalam bentuk :
a.       Teori; seperangkat konstruk atau konsep, definisi atau preposisi yang saling berhubungan, yang menyajikan pendapat sistematik tentang gejala dengan menspesifikasi hubungan – hubungan antara variabel-variabel dengan maksud menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut.
b.      Konsep; suatu abstraksi yang dibentuk oleh organisasi dari kekhususan-kekhususan, merupakan definisi singkat dari sekelompok fakta atau gejala.
c.       Generalisasi; kesimpulan umum berdasarkan hal-hal yang khusus, bersumber dari analisis, pendapat atau pembuktian dalam penelitian.
d.      Prinsip; yaitu ide utama, pola skema yang ada dalam materi yang mengembangkan hubungan antara beberapa konsep.
e.       Prosedur; yaitu seri langkah-langkah yang berurutan dalam materi pelajaran yang harus dilakukan peserta didik.
f.       Fakta; sejumlah informasi khusus dalam materi yang dianggap penting, terdiri dari terminologi, orang dan tempat serta kejadian.
g.      Istilah, kata-kata perbendaharaan yang baru dan khusus yang diperkenalkan dalam materi.
h.      Contoh/ilustrasi, yaitu hal atau tindakan atau proses yang bertujuan untuk memperjelas suatu uraian atau pendapat.
i.        Definisi:yaitu penjelasan tentang makna atau pengertian tentang suatu hal/kata dalam garis besarnya.
j.        Preposisi, yaitu cara yang digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran dalam upaya mencapai tujuan kurikulum.
2.    Implikasi Konten terhadap Kurikulum
Konten atau materi pelajaran sebenarnya merupakan komponen kurikulum yang amat penting. Konten menyangkut jawaban terhadap pertanyaan, “apakah yang diajarkan?”. Konten ini seringkali tidak diperhatikan. Artinya, konten seringkali diserahkan saja pada keputusan guru atau diambil saja dari buku teks yang berlimpah-limpah, tanpa mengaitkan dengan tujuan pendidikan, tujuan kurikulum atau dengan tujuan instruksional.
Hal yang sama juga terjadi sebelum timbulnya reformasi kurikulum pada tahun 1960, terutama di Amerika Serikat. Semua orang memberikan perhatian lebih terhadap metode, media dan strategi yang digunakan dalam belajar, namun kurang memperhatikan isi yang disampaikan. Oleh karenanya ahli kurikulum harus memahami hakekat dan struktur konten yang menyangkut apa yang akan diajarkan. Karena konten merupakan elemen kedua yang penting setelah tujuan untuk menyusun kurikulum.
Kalau dikaji kembali pengertian kurikulum yang sangat berbeda-beda, juga akan menghasilkan perumusan konten yang berbeda-beda. Sesuai dengan gambaran konsep yang terkandung di dalam pengertian kurikulum yang diajukan tersebut. Seperti yang telah ditinjau, ada yang mengartikan kurikulum sebagai mata pelajaran, materi pelajaran atau judul-judul mata pelajaran. Jika seperi ini, maka rencana tersebut tidak layak lagi disebut sebagai kurikulum tetapi sebagai judul-judul pokok bahasan.
Secara singkat dapat dilihat bahwa Beaucham menyatakan bahwa kurikum itu sebagai dokumen yang dipakai sebagai titik tolak perencanaan instruksional, Taba dan Mocdonal mengartikan sebagai pengalaman belajar dan hasil belajar yang dibimbing dan direncanakan, yang tidak tertulis, Krug dan Doll mendefenisikan sebagai pengalaman belajar yang dirancang sekolah dan Tanner dan Tanner mendefenisikan sebagai pengalaman peserta didik. Berdasarkan pemahaman masing-masing juga menimbulkan kontek yang berbeda-beda.[11]
Implikasi dari pengertian kurikulum tersebut bahwa pengertian kurikulum lebih luas dari pada dokumen atau rencana kurikulum tertulis saja, tetapi mencangkup juga implementasinya di dalam kelas untuk dapat ditransformasikan agar menjadi pengalaman belajar yang direncanakan mencapai tujuan pendidikan dan tujuan pembelajaran.
A.  Organisasi Kurikulum
1.    Urutan Organisasi Kurikulum
Urutan adalah rangkaian materi, konten atau kegiatan belajar yang dipresentasikan kepada para anak didik. Sebenarnya urutan dan ruang lingkup saling berkaitan. Schubert memaparkan kriteria penentuan urutan, yaitu presentasi menurut buku teks, preferensi guru, struktur disiplin ilmu, minat anak didik, hirarkhi belajar dan perkembangan.
1. Buku teks
Urutan yang amat lumrah dari konten di sekolah-sekolah saat ini adalah urutan presentasi menurut yang tertera pada buku teks. Guru hanya mengikuti saja organisasi dan urutan materi dan konten kurikulum seperti yang tertera pada buku teks, paket belajar atau unit-unit pelajaran yang telah disiapkan terlebih dahulu. Dalam hal ini seringkali guru merasa kurang aman kalau mereka tidak mengikuti dan tidak meliput bahan dan konten yang tersedia. Yang lebih lagi adalah ketakutan guru mempertanyakan bahan atau materi yang terdapat dalam buku teks atau paket belajar.
Penyokong urutan konten atau materi menurut yang terdapat dalam buku teks, paket belajar dan lain-lain adalah bahwa urutan tersebut sudah sangat baik karena buku paket belajar, atau ateri instruksional lainnya disusun para ahli disiplin ilmu atau bidang studi masing-masing.
2. Preferensi guru
Para guru menentukan sendiri suunan dan urutan materi atau konten yang diajarkannya sesuai dengan pertimbangan logika, psikologis atau profesional masing-masing guru.  Mereka adalah pengambil keputusan kurikulum yang aktif. Maksudnya, mereka ternyata seringkali menentukan urutan konten atau materi sendiri menyimpang dari urutan yang telah ditetapkan. Hal ini memungkinkan para guru menyajikan organisasi kurikulum dan konten pelajaran sesuai dengan hasi pengamatannya tentang anak didik atau siswa yang diajarnya.
3. Struktur disiplin ilmu
Disiplin ilmu diasumsikan memiliki struktur yang melekat. Dalam struktur ini termasuk urutan konten kurikulum. Oleh karena itu, para penyusun kurikulum harus percaya pada susunan yang telah dibuat para ahli disiplin ilmu yang teah diorganisir dan diurut menurut struktur logika bidang studi masing-masing.
4. Perhatian pelajar atau minat anak didik
Jika para pelajar tertarik dan ingin mempelajari lebih mendalam tentang suatu masalah, mereka cenderung berusaha keras mempelajarinya. Usaha yang memberikan hasil untuk menemukan sesuatu membuka pintu bagi masalah-masalah baru.
Urutan konten atau materi harus berdasarkan pada pengertian bahwa suatu pengetahuan akan sangat relevan kalau pengetahuan itu diminati dan dipelajari sendiri oleh peserta didik sesuai denan minat dan keinginannya. Jika sesuati diminati dan diinginkan pelajar untuk dipelajarinya, mendalaminya lebih mudah daripada sesuatu yang ditentukan orang lain urutannya.
5. Hirarkhi belajar
Belajar harus berangkat dari hahal sederhana menuju hal-hal yang lebih kompleks. Oleh karena itu, urutan harus sesuai dengan apa yang diketahui dari teori-teori belajar. Secara berangsur-angsur dimulai dengan mempelajari konstruk (construct) dan prinsip-prinsip berdasarkan data dan konsep. Pengertian secara keseluruhan dari suatu konstruk itu akan muncul kalau itu dipresentasikan secara sistematik dan analitis. Akan lebih baik kalau urutan kurikulum didasarkan pada hasil-hasil kajian empiris yang memberikan pengertian tentang kondisi apa yang dapat menumbuhkan belajar.
6. Perkembangan
Konten atau kegiatan belajar yang diberikan kepada anak-anak atau pelajar harus sesuai dengan tingkat kematangan mereka, baik pada aspek kognitif maupun moral.
Teori perkembangan Piaget (Good and Braphy, 1977:272-274) mengemukakan bahwa tingkat perkembangan kognitif anak bergerak dari tingkat motorik sensori (18 bulan-7 tahun), ke operasi konkrit (8-12 tahun), ke tingkat operasi normal (12 tahun). Sementara Kohlberg telah mendapatkan 6 tingkat perkembangan moral: patuh pada hukuman, pembalasan (reciprocity), konformitas, hukum dan ketertiban, kontrak social atau orientasi konstitusional dan prinsip. Implikasi kurikuum berdasarkan teori-teori perkembangan ini ialah urutan kurikulum dan pengajaran harus menyesuaikan konten dengan tingkat perkembangan anak.[12]
2.    Elemen Organisasi Kurikulum
Agar konten dan kegiatan belajar dapat saling berkaitan, baik secara vertical maupun secara horizontal, diperlukan suatu elemen pemersatu antara keduanya, agar kaitan atau hubungan keduanya lebih kuat dan terstruktur.
Dalam sebuah buku yang ditulis oleh Mc Neil, elemen pemersatu tersebut adalah sebagai berikut:
1. Konsep; konten atau materi kurikulum dikembangkan sekitar konsep tertentu seperti kebudayaan, pertumbuhan, nomor, ruang, entropy, evaluasi dan lain-lain.
2. Generalisasi; kesimpulan yang diambi oleh ilmuwan berdasarkan observasi yang mendalam.
3. Keterampilan; biasanya merupakan suatu keahlian atau kemampuan yang direncanakan untuk dimiliki anak didik menurut kurikulum bagi kelangsungan proses belajarnya. Misalnya, anak-anak SD menyusun pengalaman belajarnya sekitar pengenalan atau kemampuan untuk memahami, keterampilan dasar matematika yang fundamental. Serta keterampilan menafsirkan data.
4. Nilai, nilai filsafat di masyarakat agar dapat hidup dengan baik dan diterima oleh masyarakat seperti menghargai hakikat kemanusiaan setiap orang melihat suku, ras, bangsa, agama, pangkat, penghasilan serta harga diri. Jika kurikulum disusun sekitar nilai-nilai, maka sebagian besar kegiatan dan pengalaman belajar diatur sedemikian rupa agar nilai-nilai itu dihayati dan dimiliki anak didik. Tentu saja elemen organisasi itu dipilih dalam kaitannya dengan pencapaian tujuan-tujuan yang ditetapkan kurikulum.
Tyer dan Zais berbicara tentang susunan atau organisasi kurikulum atau kegiatan belajar yang horizontal dan yang vertical. Susunan horizontal adalah kaitan atau hubungan konten dan kegiatan dan kegiatan beajar yang dilaksanakan pada suatu tingkat kurikulum tertentu, atau pada suatu kelas-kelas yang bersamaan pada mata pelajaran tertentu, baik sama-sama dilakukan dalam sekolah maupun luar sekolah.
Kedua organisasi vertical dan horizontal diharapkan akan menimbulkan hasil kumulatif sebab kedua organisasi kurikulum ini dapat saling isi mengisi dan saling memperkuat untuk mencapai pengertian yang lebih dalam dan lebih luas dari konten kurikulum. (Muhammad Ansyar, 1989:122-130)[13]
Komponen organisasi berkaitan dengan bagaimana materi disusun (diorganisasikan) sehingga peserta didik memperoleh pengalaman belajar untuk mencapai tujuan.Organisasi materi dan pengalaman belajar memiliki dua dimensi : horizontal dan vertikal. Organisasi horizontal menyangkut ruang lingkup dan keterpaduan dari keseluruhan materi. Organisasi horizontal merupakan kaitan antara satu mata pelajaran dengan pelajaran lain pada kelas yang sama. Organisasi vertikal mencakup urutan dan kesinambungan materi pelajaran berupa hubungan longitudinal/pengalaman belajar peserta didik. Beragamnya pandangan yang mendasari pengembangan kurikulum memunculkan terjadinya keragaman dalam mengorgansiasikan kurikulum.
Setidaknya terdapat enam ragam pengorganisasian kurikulum, yaitu:
1.      Mata pelajaran terpisah (isolated subject); kurikulum terdiri dari sejumlah mata pelajaran yang terpisah-pisah, yang diajarkan sendiri-sendiri tanpa ada hubungan dengan mata pelajaran lainnya. Masing-masing diberikan pada waktu tertentu dan
tidak mempertimbangkan minat, kebutuhan, dan kemampuan peserta didik, semua materi diberikan sama
2.      Mata pelajaran berkorelasi; korelasi diadakan sebagai upaya untuk mengurangi kelemahan-kelemahan sebagai akibat pemisahan mata pelajaran. Prosedur yang ditempuh adalah menyampaikan pokok-pokok yang saling berkorelasi guna memudahkan peserta didik memahami pelajaran tertentu.
3.      Bidang studi (broad field); yaitu organisasi kurikulum yang berupa pengumpulan beberapa mata pelajaran yang sejenis serta memiliki ciri-ciri yang sama dan dikorelasikan (difungsikan) dalam satu bidang pengajaran. Salah satu mata pelajaran dapat dijadikan “core subject”, dan mata pelajaran lainnya dikorelasikan dengan core tersebut.
4.      Program yang berpusat pada anak (child centered), yaitu program kurikulum yang menitikberatkan pada kegiatan-kegiatan peserta didik, bukan pada mata pelajaran.
5.      Inti Masalah (core program), yaitu suatu program yang berupa unit-unit masalah, dimana masalah-masalah diambil dari suatu mata pelajaran tertentu, dan mata pelajaran lainnya diberikan melalui kegiatan-kegiatan belajar dalam upaya memecahkan masalahnya. Mata pelajaran-mata pelajaran yang menjadi pisau analisisnya diberikan secara terintegrasi.
6.      Ecletic Program, yaitu suatu program yang mencari keseimbangan antara organisasi kurikulum yang terpusat pada mata pelajaran dan peserta didik
Berkenaan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, tampaknya lebih cenderung menggunakan pengorganisasian yang bersifat eklektik, yang terbagi ke dalam lima kelompok mata pelajaran, yaitu :” (1) kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; (2) kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; (3) kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; (4) kelompok mata pelajaran estetika; dan (5) kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan”.[14]
Kelompok-kelompok mata pelajaran tersebut selanjutnya dijabarkan lagi ke dalam sejumlah mata pelajaran tertentu, yang disesuaikan dengan jenjang dan jenis sekolah.Di samping itu, untuk memenuhi kebutuhan lokal disediakan mata pelajaran muatan lokal serta untuk kepentingan penyaluran bakat dan minat peserta didik disediakan kegiatan pengembangan diri.
B.  Evaluasi kurikulum
1.    Konsepsi Evaluasi
Evaluasi ialah proses yang menentukan sampai sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai. secara umum evaluasi atau penilaian adalah sebuah proses sistematis pengumpulan informasi, baik berupa angka ataupun deskripsi verbal, analisis, dan interpretasi informasi untuk memberikan keputusan terhadap kualitas hasil kerja.
Menurut Arikunto (2005), menilai adalah sebuah proses pengambilan keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik buruk, sehingga dapat dikatakan bersifat kualitatif. Arikunto (2005)[15] juga menambahkan bahwa evaluasi merupakan sebuah proses pengumpulan data untuk menentukan sejauh mana, dalam hal apa, dan bagian mana tujuan pendidikan sudah tercapai, yang kemudian dipakai sebagai tolak ukur dalam pengambilan keputusan. Dengan demikian, dalam pendidikan, evaluasi merupakan proses pengumpulan dan penggunaan informasi oleh guru untuk memberikan keputusan terhadap kualitas hasil kerja siswa berdasarkan tahapan kemajuan belajarnya, sehingga diperoleh gambaran kemampuan siswa sesuai dengan kompetensi ataupun tujuan pendidikan yang ditetapkan dalam kurikulum.
2 .Hakikat Evaluasi
Evaluasi kurikulum memegang peranan penting baik dalam penentuan kebijaksanaan pendidikan pada umumnya, maupun pada pengambilan keputusan dalam kurikulum. Hasil-hasil evaluasi dapat digunakan oleh pemegang kebijaksanaan pendidikan dan para pengembang kurikulum dalam memilih dan menetapkan kebijaksanaan pengembangan sistem pendidikan dan pengembangan model kurikulum yang digunakan. Hasil-hasil evaluasi kurikulum juga dapat digunakan oleh guru-guru, kepala sekolah, dan para pelaksana pendidikan lainnya, dalam memahami dan membantu perkembangan siswa, memilih bahan pelajaran, memilih metode dan alat-alat bantu pelajaran, cara penilaian, serta fasilitas pendidikan lainnya.
Evaluasi kurikulum sukar dirumuskan secata tegas, hal itu disebabkan beberapa faktor:
• Evaluasi kurikulum berkenaan dengan fenomena-fenomena yang terus berubah
• Objek evaluais kurikulum adalah sesuatu yang berubah-rubah sesuai dengan konsep kurikulum yang digunakan
• Evaluasi kurikulum merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh manusia yang sifatnya juga berubah.
Evaluasi kurikulum merupakan dua disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Ada pihak yang berpendapat antara keduanya tidak ada hubungan, tetapi ada pihak lain yang manyatakan keduanya memiliki hubungan sangat erat. Pihak yang memandang ada hubungan, hubungan tersebut merupakan pengaruh sebab akibat. Perubahan dalam kurikulum berpengaruh pada evaluasi kurikulum bersifat organis, dan prosesnya berlangsungf secara evolusioner. Pandangan –pandangan lama yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman, secara berangsur-angsur diganti dengan pandangan lain yang lebih sesuai. [16]
R.A Becher, seorang ahli pendidikan dari Universitas Sussex Inggris menyatakan bahwa: tiap program pengembangan kurikulum mempunyai style dan karateristik yang sama pula. Seorang evaluator akan menyusun program evaluasi kurikulum sesuai dengan style dan karateristik kurikulum yang dikembangkannya. Atau juga terjadi sebaliknya, hasil program evalusi kurikulum akan mempengaruhui pelaksaan praktik kurikulum.[17]
Konsep R.A. Becher tentang perkembangan kurikulum dan evaluasi kurikulum, pada mulanya bersifat dekskriptif yaitu menekankan pada what it is? Tetapi kemudian berkembang kepada sifat yang menekankan what ought tu be. Konsep evaluasi kurikulum yang bersifat perskriptif yaitu mempunyai tempat konsep kurikulum yang bersifat demikian pula. Sebagai contoh, teori Ralph Tylor dan Benyamin Bloom, berisikan pedoman praktis bagi perkembangan kurikulum, demikian juga dengan teori kurikulum lainnya.
Evaluasi merupakan kegiatan yang luas, kompleks dan terus menerus untuk mengetahui proses dan hasil pelaksanaan sistem pendidikan dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan. Evaluasi juga meliputi rentangan yang cukup luas, mualia dari yang bersifat sangat informal dampai dengan yang sangat formal. Pada tingkat yang lebih formal, evalusi kurikulum meliputi pengumpulan dan pencatatan data, sedangkan pada tingkat yang sangat formal berbentuk pengukuran berbagai bentuk kemajuan kea rah tujuan yang telah ditentukan.
Komponen kurikulum yang dievalusai juga sangat luas. Program evaluasi kurikulum bukan hanya mengevaluasi hasil belajar siswa dan proses pembelajarannya, tetapi juga desain implementasi kurikulum, kemampuan untuk kinerja guru, kemampuan dan kemajuan siswa, sarana, fasilitas dan sumber belajar, dan lain-lain.
3      Model Model Evaluasi
a.    Model Diskrepansi
Untuk melakukan evaluasi program lembaga pendidikan itu ada banyak model yang bisa digunakan, salah satunya (yang dianggap relatif sederhana untuk dilakukan) adalah evaluasi ketidaksesuaian (discrepancy) yang dikembangkan oleh Malcolm Provus.
Yang dimaksudkan adalah ketidaksesuaian, ketidakselarasan antara dua hal yang seharusnya, idealnya, harapannya, sama (“A discrepancy  exists between things which ought to be the same”). Sinonimnya “incongruity, disagreement, discordance, contrariety, variance.”
Objek sasaran evaluasi program (lembaga pendidikan, misalnya) dengan menggunakan model dicrepancy Provus itu ada lima aspek (kadang ada yang menyebutnya cuma empat), yaitu sebagai berikut.
1. Design (rancangan; program design). Yang dimaksud adalah ranncangan kegiatan atau program kerja. Oleh karena itu ada yang menyebutnya dengan program definition (penetapan program). Yang dievaluasi mengenainya adalah ada tidaknya unsur input, proses, dan output (sesuatu itu–lahan, personil, sarana prasarana, sumber daya–sekarang berkeadaan seperti apa, mau diproses dengan cara bagaimana, agar menjadi seperti apa). “Diteliti-evaluasi” kemudian kekomprehensifkan dan kosistensi (keselarasan) internal rancangan tersebut.
2. Installation (program installation; penyediaan perangkat-perlengkapan yang dibutuhkan program). Agar program bisa dilaksanakan, lembaga pembuat program itu tentu harus menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk mendukungnya. Jadi, yang dievaluasi adalah ketepatan berbagai sumber daya, perangkat dan perlengkapan yang tersedia untuk pelaksanaan program. Jika diprogramkan meningkatkan kemampuan mahasiswa mengajar, misalnya, apakah sudah “disiapkan” tempat latihan mengajar yang baik.
3. Process (program process). Yang dimaksud adalah proses pelaksanaan program. Di dalamnya termasuk kepemimpinan dan penugasan-penugasan (instruction). Yang dievaluasi adalah keterkaitan antara sesuatu yang akan diubah, dibangun, dikembangkan dsb. dengan kegiatan (proses) untuk mengubah, membangun, mengembangkannya. Jika diharapkan sekian orang staf bisa studi lanjut, maka prosesnya adalah “menyiapkan” mereka untuk bisa studi lanjut, misalnya meningkatkan kemampuan bahasa Ingggris, meningkatkan penguasaan metodologi penelitian dan penulisan karya ilmiah, bukan “menugaskan studi lanjut.”
4. Product (program product, hasil program). Yang dievaluasi adalah efektivitas desain atau rancangan program; tegasnya apakah tujuan atau target program bisa tercapai.
5. Cost (biaya, pengeluaran). Yang dimaksud adalah implikasi (kemanfaatan) sosial politik ekonomi apa yang diharapkan bisa tergapai dari pelaksanaan program tersebut.
Untuk setiap tahapan (stage) tersebut ada standar kriteria tertentu yang telah ditetapkan untuk mengevaluasinya. Mengevaluasinya, dengan demikian, secra sederhana hanya dengan membandingkan “apa yang nyata terjadi” dengan standarnya (ada ketidaksesuaian, diskrepansi, ataukah tidak).[18]
Dari hasil evaluasi itu pilihan tindak lanjutnya salah satu dari empat berikut.
1. Jika tidak ada diskrepansi, lanjut ke tahap evaluasi berikut.
2. Jika ada diskrepansi, ulangi evaluasi lagi pada tahap yang sekarang dilakukan jika sudah ada perubaha, entah pada standarnya, atau pada pelaksanaannya.
3. Jika pilihan kedua tidak bisa dipenuhi, balik lagi ke tahap pertama (perumusan program) untuk menyusun ulang program, lalu melakukan evaluasi ulang pada tahap 1 tersebut.
4. Jika pilihan ketiga itu tidak bisa dipenuhi, maka tiada pilihan lain selain menghentikan program.
Nah, jadi jangan sampai salah menggunakan berbagai model evaluasi. Jika ingin mengevaluasi lembaga, lembaganya yang akan dievaluasi, misalnya sudahkah memenuhi standar sebagai sekolah berstandar nasional, gunakan standar evaluasi lembaga. Jika yang akan dievaluasi hasil kegiatan belajar-mengajar, gunakanlah model-model evaluasi hasil belajar. Model diskrepansi (DEM-discrepancy evaluation model) tepatnya digunakan untuk evaluasi program lembaga, termasuk lembaga pendidikan. Jika program pendidikan (KBM/PBM) akan dievaluasi juga, yang dievaluasi program dan pelaksanaan programnya itu, bukan hasil belajar peserta didik.
b.    Model Countenance
Model Countenance adalah model pertama evaluasi kurilulum yang dikembangkan Stake. Pengertian Countenance adalah keseluruhan, sedangkan pengertian lain adalah sesuatu yang disenangi (favourable).
Menurut Provus (1972), Tujuan dari model Countenance Stake adalah melengkapi kerangka untuk pengembangan suatu rencana penilaian kurikulum. Perhatian utama Stake adalah hubungan antara tujuan penilaian dengan keputusan berikutnya berdasarkan sifat data yang dikumpulkan. Hal tersebut, karena Stake melihat adanya ketidak-sesuaian antara harapan penilai dan guru. Penilaian yang dilakukan oleh guru tidak akan sama hasilnya dengan penilaian yang dilakukan oleh ahli penilaian.
Jadi, menurut Porvus model Countenance Stake dimaksudkan guna memastikan bahwa semua data yang dikumpulkan dan diolah untuk melengkapi informasi yang dapat digunakan oleh pemakai data. Hal ini berarti bahwa penilai harus mengumpulkan data deskriptif yang lengkap tentang hasil belajar siswa dan data pelaksanaan pengajaran, dan hubungan antara kedua faktor tersebut. Di samping itu juga, jugment data harus dikumpulkan.
Sedangkan menurut Howard, H (2008) evaluasi Stake’s orientasinya adalah tujuan dan pendekatan mekanik dalam program pendidikan. Oleh karena itu, Kemble & Charles (2010) mengatakan bahwa model countenance stake sangat berpengaruh pada program pendidikan.[19]
Oleh karena itu, Hasan (2008; 201) mengatakan bahwa model Countenance stake bersifat arbitraty dan tidak perlu dianggap sebagai suatu yang mutlak. Stake’s mempunyai keyakinan bahwa suatu evaluasi haruslah memberikan deskripsi dan pertimbangan sepenuhnya mengenai evaluan. Dalam model ini stake sangat menekankan peran evaluator dalam mengembangkan tujuan kurikulum menjadi tujuan khusus yang terukur, sebagaimana berlaku dalam tradisi pengukuran behavioristik dan kuantitatif. Model Countenance Stake terdiri atas dua matriks. Matriks pertama dinamakan matriks Deskripsi dan yang kedua dinamakan Matriks Pertimbangan. Matriks pertimbangan baru dapat dikerjakan oleh evaluator setelah matriks Deskripsi diselesaikan. Matriks Desktripsi terdiri atas kategori rencana (intent) dan observasi.
·      Matriks Deskripsi
Kategori pertama adalah sesuatu yang direncanakan pengembang kurikulum atau program. Dalam konteks KTSP, kurikulum tersebut adalah kurikulum yang dikembangkan atau digunakan oleh satu satuan pendidikan. Sedangkan program adalah silabus dan Rencana Program Pengajaran (RPP) yang dikembangkan guru. Guru sebagai pengembang program merencanakan keadaan/persyaratan yang diinginkannya untuk suatu kegiatan kelas tertentu. Misalnya yang berhubungan dengan minat, kemampuan, pengalaman,dan lain sebagainya dari peserta didik.
Kategori kedua dinamakan observasi, berhubungan dengan apa yang sesungguhnya sebagai implementasi yang diinginkan pada kategori yang pertama. Kategori ini juga sebagaimana yang pertama terdiri atas antecendents, transaksi , dan hasil. Evaluator harus melakukan observasi (pengumpulan data) mengenai antecendents, transaksi , dan hasil yang ada di suatu satuan pendidikan.
·      Matriks Pertimbangan
Terdiri atas kategori standard dan pertimbangan, dan fokus antecendents, transaksi, dan outcomes (hasil yang diperoleh). Standar adalah kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu kurikulum atau program yang dijadikan evaluan. Standar dapat dikembangkan dari karakteristik yang dimiliki kurikulum, tetapi dapat juga dari yang lain (pre-ordinate, mutually adaptive, proses).Kategori kedua adalah kategori pertimbangan. Kategori ini menghendaki evaluator melakukan pertimbangan dari apa yang telah dilakukan dari kategori yang pertama dan kedua matriks Deskripsi sampai kategori pertama matriks Pertimbangan. Suatu evaluasi harus sampai kepada pemberian pertimbangan. Keseluruhan matriks yang mendukung model Stake ini terdiri dari 12 kotak.[20]
Cara kerja model evaluasi Stake, evaluator mengumpulkan data mengenai apa yang diinginkan pengembang program baik yang berhubungan dengan kondisi awal, transaksi, dan hasil. Data dapat dikumpulkan melalui studi dokumen dapat pula melalui wawancara. Analisis logis diperlukan dalam memberikan pertimbangan mengenai keterkaitan antara prasyarat awal, transaksi, dan hasil dari kotak-kotak tujuan. Evaluator harus dapat menentukan apakah prasyarat awal yang telah dikemukakan pengembang program akan tercapai dengan rencana transaksi yang dikemukakan. Atau sebetulnya ada model transaksi lain yang lebih efektif. Demikian pula mengenai hubungan antara transaksi dengan hasil yang diharapkan. Analisis kedua adalah analisis empirik. Dasar bekerjanya sama dengan analisis logis tapi data yang digunakan adalah data empirik.
Menurut Woods (1988) dalam melakukan evaluasi sebelum melakukan pengumpulan data, maka para evaluator harus bertemu terlebih dahulu untuk membuat kerangka acuan yang berhubungan dengan antecedents, transaksi dan hasil. Hal tersebut dilakukan tidak hanya untuk memperjelas tujuan evaluasi tetapi juga untuk melihat apakah model Countenance Stake’s konsisten terhadap transactions yang dimaksud dengan antecendent dan outcome.
c.    Model CIIP
Model evaluasi CIPP dalam pelaksanaannya lebih banyak digunakan oleh para evaluator, hal ini dikarenakan model evaluasi ini lebih komprehensif jika dibandingkan dengan model evaluasi lainnya. Model evaluasi ini dikembangkan oleh Daniel Stuffleabem, dkk (1967) di Ohio State University. Model evaluasi ini pada awalnya digunakan untuk mengevaluasi ESEA (the Elementary and Secondary Education Act).[21] CIPP merupakan singkatan dari, context evaluation : evaluasi terhadap konteks, input evaluation : evaluasi terhadap masukan, process evaluation : evaluasi terhadap proses, dan product evaluation : evaluasi terhadap hasil. Keempat singkatan dari CIPP tersebut itulah yang menjadi komponen evaluasi.
Model CIPP berorientasi pada suatu keputusan (a decision oriented evaluation approach structured). Tujuannya adalah untuk membantu administrator (kepala sekolah dan guru) didalam membuat keputusan. Menurut Stufflebeam, (1993 : 118) dalam Eko Putro Widoyoko mengungkapkan bahwa, “ the CIPP approach is based on the view that the most important purpose of evaluation is not to prove but improve.” Konsep tersebut ditawarkan oleh Stufflebeam dengan pandangan bahwa tujuan penting evaluasi adalah bukan membuktikan, tetapi untuk memperbaiki.
Berikut ini akan di bahas komponen atau dimensi model CIPP yang meliputi, context, input, process, product.
1. Context Evaluation (Evaluasi Konteks)
Stufflebeam (1983 : 128) dalam Hamid Hasan menyebutkan, tujuan evaluasi konteks yang utama adalah untuk mengetahui kekutan dan kelemahan yang dimilki evaluan. Dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan ini, evaluator akan dapat memberikan arah perbaikan yang diperlukan. Suharsimi Arikunto dan Cepi Safrudin menjelaskan bahwa, evaluasi konteks adalah upaya untuk menggambarkan dan merinci lingkungan kebutuhan yang tidak terpenuhi, populasi dan sampel yang dilayani, dan tujuan proyek. [22]
2. Input Evaluation (Evaluasi Masukan)
Tahap kedua dari model CIPP adalah evaluasi input, atau evaluasi masukan. Menurut Eko Putro Widoyoko, evaluasi masukan membantu mengatur keputusan, menentukan sumber-sumber yang ada, alternative apa yang diambil, apa rencana dan strategi untuk mencapai tujuan, dan bagaimana prosedur kerja untuk mencapainya. Komponen evaluasi masukan meliputi : 1) Sumber daya manusia, 2) Sarana dan peralatan pendukung, 3) Dana atau anggaran, dan 4) Berbagai prosedur dan aturan yang diperlukan.
3. Process Evaluation (Evaluasi Proses)
Worthen & Sanders (1981 : 137) dalam Eko Putro Widoyoko menjelaskan bahwa, evaluasi proses menekankan pada tiga tujuan : “ 1) do detect or predict in procedural design or its implementation during implementation stage, 2) to provide information for programmed decision, and 3) to maintain a record of the procedure as it occurs “. Evaluasi proses digunakan untuk menditeksi atau memprediksi rancangan prosedur atau rancangan implementasi selama tahap implementasi, menyediakan informasi untuk keputusan program dan sebagai rekaman atau arsip prosedur yang telah terjadi. Evaluasi proses meliputi koleksi data penilaian yang telah ditentukan dan diterapkan dalam praktik pelaksanaan program. Pada dasarnya evaluasi proses untuk mengetahui sampai sejauh mana rencana telah diterapkan dan komponen apa yang perlu diperbaiki.  
Sedangkan menurut Suharsimi Arikunto, evaluasi proses dalam model CIPP menunjuk pada “apa” (what) kegiatan yang dilakukan dalam program, “siapa” (who) orang yang ditunjuk sebagai penanggung jawab program, “kapan” (when) kegiatan akan selesai. Dalam model CIPP, evaluasi proses diarahkan pada seberapa jauh kegiatan yang dilaksanakan didalam program sudah terlaksana sesuai dengan rencana[23].
4. Product Evaluation (Evaluasi Produk/Hasil)
Sax (1980 : 598) dalam Eko Putro Widoyoko memberikan pengertian evaluasi produk/hasil adalah “ to allow to project director (or techer) to make decision of program “. Dari evaluasi proses diharapkan dapat membantu pimpinan proyek atau guru untuk membuat keputusan yang berkenaan dengan kelanjutan, akhir, maupun modifikasi program.  
Sementara menurut Farida Yusuf Tayib napis (2000 : 14) dalam Eko Putro Widoyoko menerangkan, evaluasi produk untuk membantu membuat keputusan selanjutnya, baik mengenai hasil yang telah dicapai maupun apa yang dilakukan setelah program itu berjalan. [24]



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Tujuan kurikulum pada hakikatnya adalah tujuan dari setiap program pendidikan yang akan diberikan pada anak didik Dalam perspektif pendidikan nasional, tujuan pendidikan nasional dapat dilihat secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Konten/Isi Kurikulum adalah: Fakta, observasi, data, persepsi, klasifikasi, disain dan pemecahan masalah yang telah dihasilkan pengalaman dan hasil pikiran manusia yang tersusun dalam bentuk ide-ide, konsep, prinsip-prinsip, kesimpulan, perencanaan dan solusi.
Organisasi kurikulum mencakup urutan, aturan dan integrasi kegiatan-kegiatan belajar sedemikian rupa guna pencapaian tujuan-tujuan.
ruang lingkup organisasi kurikulum meliputi: mata pelajaran, bidang besar (broad field), projek, kurikulum inti dan integrasi.
kriteria penentuan urutan organisasi kurikulum dibedakan dalam beberapa presentasi, yaitu presentasi menurut buku teks, preferensi guru, struktur disiplin ilmu, minat anak didik, hirarkhi belajar dan perkembangan.
Elemen pemersatu dari organisasi kurikulum adalah konsep, generalisasi, keterampilan, dan nilai.
Evaluasi kurikulum memegang peranan penting baik dalam penentuan kebijaksanaan pendidikan pada umumnya, maupun pada pengambilan keputusan dalam kurikulum. Program evaluasi kurikulum bukan hanya mengevaluasi hasil belajar siswa dan proses pembelajarannya, tetapi juga desain implementasi kurikulum, kemampuan untuk kinerja guru, kemampuan dan kemajuan siswa, sarana, fasilitas dan sumber belajar, dan lain-lain.  Banyak teori tentang kurikulum. Beberapa teori menekankan pada rencana, yang lain pada inovasi, pada dasar-dasar filosofis, dan pada konsep-konsep yang diambil dari perilaku manusia.







DAFTAR PUSTAKA
Arifin,Zaenal.2009.Evaluasi Pembelajaran.Bandung:Remaja Rosda karya.
Eko Putro Widoyoko, Evaluasi Program Pembelajaran : Panduan Praktis Bagi Pendidik dan Calon Pendidik, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009)
Suharsimi Arikunto dan Cepi Safrudin, Evaluasi Program Pendidikan : Pedoman Teoritis Praktis Bagi Mahasiswa dan Praktisi Pendidikan, cetakan ketiga, (Jakarta : Bumi Aksara, 2009)
Dasim Budimansyah, dkk .2009. Pembelajaran Aktif Kreatif dan Menyenangkan. PT.Genesindo,Bandung.
Depdiknas,2003. Standar Kompetensi Bahan Kajian Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi. Puskur Balitbang, Jakarta.
Didik Sukiyudi, dkk. 2006. Kurikulum dan Pembelajaran. UPI Press, Bandung.
Mulyasa,E. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan; Sebuah Panduan Praktis.PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Nana Sudjana. 1991. Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah. Sinar Baru, Bandung.
Nana Syaodih Sukmadinata. 1997. Pengembangan Kurikulum. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Nasution, S. 1994. Dasar-dasar Kurikulum. Bandung: Angkasa.
PP No. 46 Tahun 2008.Tentang Wajib Belajar. CV. Eko Jaya, Jakarta.
P. Joko Subagyo. 2011. Metode Penelitian, dalam Teori dan Praktek. Rineka Cipta, Jakarta.




[1]. Mulyasa,E.Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan; Sebuah Panduan Praktis,(Bandung.PT Remaja Rosdakarya,2006), hal 20.
[2]. PP No.46 tahun 2008 . Tentang Wajib Belajar, ( Jakarta.CV Eko Jaya, 2008 ) hlm.85.
[3]. Depdiknas.Standar Kompetensi Bahan Kajian;Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi,( Jakarta:Puskur Balitbang,2003) hl 52.
[4] . Dasim Budimansyah,dkk. Pembelajaran Aktif Kreatitif Efektif dan Menyenangkan, (Bandung; PT Genesindo, 2009 ) hal 17.
[5]. Nana Sudjana.Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah, ( Bandung: Sinar Baru, 1991 ) hal 18.
[7] Eko Putro Widoyoko, Evaluasi Program Pembelajaran : Panduan Praktis Bagi Pendidik dan Calon Pendidik, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009) Hlm 86
[8] http://tepenr06.wordpress.com/2011/10/26/konten/  Diakses 25 mei 2013 jm 10.52
[9].Nana Syaodih Sukmadinata. 1997. Pengembangan Kurikulum. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung. Hlm 46
[10].Didi,Sukiyudi,dkk.Kurikulum dan Pembelajaran,(Bandung:UPI Press,2006),hl 32.
[11] Nana Sudjana. 1991. Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah. Sinar Baru, Bandung.Hlm 76
[12] Eko Putro Widoyoko, Evaluasi Program Pembelajaran : Panduan Praktis Bagi Pendidik dan Calon Pendidik, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009) hlm. 55
[13] Anssyar, Mohammad, Ph.D. 1989. Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Depdikbud Dirjen Pendidikan Tinggi. Hlm 78
[14].Mulyasa,E.Op cit,hl 59.
[15] Suharsimi Arikunto dan Cepi Safrudin, Evaluasi Program Pendidikan : Pedoman Teoritis Praktis Bagi Mahasiswa dan Praktisi Pendidikan, cetakan ketiga, (Jakarta : Bumi Aksara, 2009)
Hlm 79
[16] Nana Sudjana. 1991. Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah. Sinar Baru, Bandung.hlm 45
[17] Eko Putro Widoyoko, Evaluasi Program Pembelajaran : Panduan Praktis Bagi Pendidik dan Calon Pendidik, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009)hlm 66
[18] Nana Syaodih Sukmadinata. 1997. Pengembangan Kurikulum. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.hlm 97
[19] Nasution, S. 1994. Dasar-dasar Kurikulum. Bandung: Angkasa.hlm 44
[20] Arifin,Zaenal.2009.Evaluasi Pembelajaran.Bandung:Remaja Rosda karya.hlm 77
[21] Eko Putro Widoyoko, Evaluasi Program Pembelajaran : Panduan Praktis Bagi Pendidik dan Calon Pendidik, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 181
[22] Suharsimi Arikunto dan Cepi Safrudin, Evaluasi Program Pendidikan : Pedoman Teoritis Praktis Bagi Mahasiswa dan Praktisi Pendidikan, cetakan ketiga, (Jakarta : Bumi Aksara, 2009)
Hlm 88
[23] .Suharsimi Arikunto dan Cepi Safrudin., op.cit
[24] Eko Putro Widoyoko, Evaluasi Program Pembelajaran : Panduan Praktis Bagi Pendidik dan Calon Pendidik, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009 )hlm 56